Friday 20 April 2018

CSR, Idealitas, dan Negara Dunia ke-3


Baru –baru ini, sebuah brand perawatan kulit merek global melakukan suatu rangkaian kegiatan ke daerah-daerah kantong kemiskinan dan terdampak bencana, yakni daerah Bangkalan di Madura dan wilayah Sinabung di Sumatera Utara. Tujuannya adalah memperbaiki kulit masyarakat setempat akibat dari kemiskian dan bencana. Dalam satu statement-nya, akibat dari kulit yang tidak ideal itu, mereka harus terganggu dalam menjalani kegiatan sehari-harinya. Namun entah apa korelasi dari kulit yang tidak ideal dengan terganggunya kegiatan sehari-hari.

Tercatat 154 orang mengikuti program ini, dan akan dilanjutkan dengan 200 orang lainnya di wilayah Sinabung. Program ini merupakan bagian dari rangkaian agenda besar holding perusahaan yang direncanakan menerapkan strategi sustainability business pada tahun 2025 mendatang. 61 negara terdaftar telah menerima program ini, dan hampir seluruhnya adalah negara-negara Asia dan Afrika. Gerakan perbaikan kulit yang di kampanyekan oleh brand terkesan “membantu” masyarakat sekitar dan bebas dari ideologi. Namun, jika ditelaah lebih jauh, jelas gerakan ini memiliki setidaknya beberapa masalah, dan akan saya jabarkan kemudian.

Aktivitas perbaikan kulit yang dilakukan brand tersebut menjadi alat legitimasi standarisasi kecantikan dan kesehatan kapitalis. Kapitalisme dan imperialisme memberikan ilusi bahwa tubuh yang sehat adalah yang memiliki kulit putih dan mulus. Citra inilah yang selalu digembar-gemborkan kapitalis-imperialis ke negara-negara koloni yang dianggap belum mapan berkebudayaan, terkhusus di wilayah Asia dan Afrika. Sudah dari ber-abad-abad lalu, mereka mencoba untuk me-liberate, memaksakan kebudayaan, memaksakan standar, dan cara hidup ke negara bekas kolonial, sehingga negara-negara ini memiliki standar hidup dan kebudayaan yang tinggi seperti mereka, semacam transfer kebudayaan.

Adanya kegiatan yang seolah-olah “membantu” tanpa adanya unsur ideologis di dalamnya, menjadi alat legitimasi standar itu. Brand melakukan aktivitasnya dengan seolah-olah nir ideologi. Kenyataanya,  mereka melakukan itu untuk membentuk pola pikir bahwa standar manusia yang sehat dan ideal adalah yang memiliki kulit mulus. 

Yang tidak mulus, kusam, bahkan putih adalah tidak sehat dan tidak ideal. Maka dari itu, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk merubah manusia di negara ke 3 dan transisi menjadi manusia-manusia yang sehat dan ideal. Dengan begitu, orang-orang ini harus membeli produk yang dijajakan untuk memperbaiki dan memelihara kulitnya agar sesuai dengan standar manusia sehat dan ideal. Ini merupakan skema imperialisme di abad 21, yang juga tidak terlepas dari unsur rasisme. 

Gimmick ini dibuat untuk menjual produk mereka kepada masyarakat dunia terkhusus dunia ketiga dan negara transisi. Bukan juga suatu kebetulan, jika pada akhirnya target penjualan terbanyak adalah di wilayah tersebut, yang secara jumlah lebih banyak dan secara perilaku lebih konsumtif. Lagi-lagi ini juga merupakan suatu iklim yang telah dikondisikan dan terstruktur. Ilusi-ilusi standar ini terus digemakan oleh kaptalisme untuk menjual produk mereka agar lebih laris, dan tentu saja pada akhirnya adalah mengakumulasi kapital.

Gimmick yang dilakukan perusahaan dengan dalih Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan cara korporasi dalam mencari pasar baru. Lainnya, cara tersebut merupakan usaha cuci tangan perusahaan atas pengerusakaan dan pemiskinan peradaban dunia akibat dari sistem bisnis kapitalistik yang dijalankan selama bertahun-tahun.

Bisnis model kapitilisme sudah dari sononya bersifat rakus dan menindas, sehingga perusahaan menggunakan CSR sebagai alat penutup dosa dan alat pengabur dampak kerusakan alam dan manusia akibat sistem yang menindas. Terlebih, kembali lagi ke contoh persoalan, kampanye perbaikan kulit ini dilakukan di kantong-kantong kemiskinan dan bencana di wilayah dunia ketiga dan negara transisi.

Jauhnya lagi, aktivitas CSR juga membiaskan kewajiban negara untuk menyelesaikan persoalan sosial, lingkungan, dan kemiskinan.

Pertanyaan yang kiranya penting ditanyakan terkait dengan perbaikan kulit yang dikampanyekan brand adalah apakah kulit tidak mulus adalah suatu masalah? Apakah dengan kulit tidak mulus akan dapat menganggu aktivitas di sekolah, kantor, dan bahkan rumah tangga, seperti yang di klaim oleh perusahaan? apakah dengan kulit tidak mulus dan ideal akan mengganggu kontribusi kita untuk kemasahalatan umat? Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa jika munculnya permasalahan kulit adalah akibat dari faktor lingkungan yang kumuh dan tidak sehat, serta akibat dari kemiskinan, kita tidak langsung saja menghantam perosalaan yang lebih riil dan mengakar?

Korporasi menggunakan gimmick tersebut untuk melipatgandakan penjualan mereka. Ilusi ideal dan sehat dibuat agar dagangannya laris. Sama halnya dengan ilusi kecantikan ideal yang mereka bawa dan jual di negara dunia ketiga dan transisi, yang secara rasial sebagian besar berbeda. Dan pada akhirnya  ini merupakan sebuah usaha kapitalis dalam melipatgandakan keuntungannya. 


No comments:

Post a Comment

CSR, Idealitas, dan Negara Dunia ke-3

Baru –baru ini, sebuah brand perawatan kulit merek global melakukan suatu rangkaian kegiatan ke daerah-daerah kantong kemiskinan dan terda...