Baru –baru ini, sebuah
brand perawatan kulit merek global melakukan suatu rangkaian kegiatan ke daerah-daerah
kantong kemiskinan dan terdampak bencana, yakni daerah Bangkalan di Madura dan wilayah
Sinabung di Sumatera Utara. Tujuannya adalah memperbaiki kulit masyarakat setempat akibat
dari kemiskian dan bencana. Dalam satu statement-nya, akibat dari kulit yang
tidak ideal itu, mereka harus terganggu dalam menjalani kegiatan
sehari-harinya. Namun entah apa korelasi dari kulit yang tidak ideal dengan
terganggunya kegiatan sehari-hari.
Tercatat 154 orang
mengikuti program ini, dan akan dilanjutkan dengan 200 orang lainnya di wilayah
Sinabung. Program ini merupakan bagian dari rangkaian agenda besar holding
perusahaan yang direncanakan menerapkan strategi sustainability business
pada tahun 2025 mendatang. 61 negara terdaftar telah menerima program ini, dan hampir
seluruhnya adalah negara-negara Asia dan Afrika. Gerakan perbaikan kulit yang
di kampanyekan oleh brand terkesan “membantu” masyarakat sekitar dan bebas dari ideologi. Namun, jika ditelaah lebih jauh, jelas gerakan ini memiliki
setidaknya beberapa masalah, dan akan saya jabarkan kemudian.
Aktivitas perbaikan
kulit yang dilakukan brand tersebut menjadi alat legitimasi standarisasi
kecantikan dan kesehatan kapitalis. Kapitalisme dan imperialisme memberikan
ilusi bahwa tubuh yang sehat adalah yang memiliki kulit putih dan mulus. Citra
inilah yang selalu digembar-gemborkan kapitalis-imperialis ke negara-negara koloni
yang dianggap belum mapan berkebudayaan, terkhusus di wilayah Asia dan Afrika.
Sudah dari ber-abad-abad lalu, mereka mencoba untuk me-liberate, memaksakan
kebudayaan, memaksakan standar, dan cara hidup ke negara bekas kolonial, sehingga negara-negara ini memiliki standar hidup dan kebudayaan yang tinggi seperti mereka,
semacam transfer kebudayaan.
Adanya kegiatan yang
seolah-olah “membantu” tanpa adanya unsur ideologis di dalamnya, menjadi alat
legitimasi standar itu. Brand melakukan aktivitasnya dengan seolah-olah nir
ideologi. Kenyataanya, mereka melakukan
itu untuk membentuk pola pikir bahwa standar manusia yang sehat dan ideal adalah
yang memiliki kulit mulus.
Yang tidak mulus, kusam, bahkan putih adalah tidak sehat dan tidak ideal. Maka dari itu, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk merubah manusia di negara ke 3 dan transisi menjadi manusia-manusia yang sehat dan ideal. Dengan begitu, orang-orang ini harus membeli produk yang dijajakan untuk memperbaiki dan memelihara kulitnya agar sesuai dengan standar manusia sehat dan ideal. Ini merupakan skema imperialisme di abad 21, yang juga tidak terlepas dari unsur rasisme.
Yang tidak mulus, kusam, bahkan putih adalah tidak sehat dan tidak ideal. Maka dari itu, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk merubah manusia di negara ke 3 dan transisi menjadi manusia-manusia yang sehat dan ideal. Dengan begitu, orang-orang ini harus membeli produk yang dijajakan untuk memperbaiki dan memelihara kulitnya agar sesuai dengan standar manusia sehat dan ideal. Ini merupakan skema imperialisme di abad 21, yang juga tidak terlepas dari unsur rasisme.
Gimmick ini dibuat
untuk menjual produk mereka kepada masyarakat dunia terkhusus dunia ketiga dan
negara transisi. Bukan juga suatu kebetulan, jika pada akhirnya target
penjualan terbanyak adalah di wilayah tersebut, yang secara
jumlah lebih banyak dan secara perilaku lebih konsumtif. Lagi-lagi ini juga
merupakan suatu iklim yang telah dikondisikan dan terstruktur. Ilusi-ilusi
standar ini terus digemakan oleh kaptalisme untuk menjual produk mereka agar
lebih laris, dan tentu saja pada akhirnya adalah mengakumulasi kapital.
Gimmick yang dilakukan perusahaan
dengan dalih Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan cara korporasi
dalam mencari pasar baru. Lainnya, cara tersebut merupakan usaha cuci tangan
perusahaan atas pengerusakaan dan pemiskinan peradaban dunia akibat dari sistem
bisnis kapitalistik yang dijalankan selama bertahun-tahun.
Bisnis model
kapitilisme sudah dari sononya bersifat rakus dan menindas, sehingga perusahaan
menggunakan CSR sebagai alat penutup dosa dan alat pengabur dampak kerusakan
alam dan manusia akibat sistem yang menindas. Terlebih, kembali lagi ke contoh
persoalan, kampanye perbaikan kulit ini dilakukan di kantong-kantong kemiskinan
dan bencana di wilayah dunia ketiga dan negara transisi.
Jauhnya lagi, aktivitas
CSR juga membiaskan kewajiban negara untuk menyelesaikan persoalan sosial,
lingkungan, dan kemiskinan.
Pertanyaan yang kiranya
penting ditanyakan terkait dengan perbaikan kulit yang dikampanyekan brand
adalah apakah kulit tidak mulus adalah suatu masalah? Apakah dengan kulit tidak
mulus akan dapat menganggu aktivitas di sekolah, kantor, dan bahkan rumah
tangga, seperti yang di klaim oleh perusahaan? apakah dengan kulit tidak mulus
dan ideal akan mengganggu kontribusi kita untuk kemasahalatan umat? Pertanyaan
lanjutannya adalah mengapa jika munculnya permasalahan kulit adalah akibat dari
faktor lingkungan yang kumuh dan tidak sehat, serta akibat dari kemiskinan, kita tidak langsung saja menghantam perosalaan yang lebih riil dan mengakar?
Korporasi menggunakan
gimmick tersebut untuk melipatgandakan penjualan mereka. Ilusi ideal dan sehat
dibuat agar dagangannya laris. Sama halnya dengan ilusi kecantikan ideal yang
mereka bawa dan jual di negara dunia ketiga dan transisi, yang secara rasial sebagian
besar berbeda. Dan pada akhirnya ini
merupakan sebuah usaha kapitalis dalam melipatgandakan keuntungannya.
No comments:
Post a Comment