Jika kita mencermati alur sejarah bangsa Indonesia, maka disana kita akan menjumpai nilai-nilai feminisme yang terkandung di dalam riwayat sejarah kita. Walaupun wacana feminisme belum berkembang dengan subur pada masa itu.

Jika konsep kesetaraan gender diartikan sebagai kegiatan perempuan di ranah publik atau politik, maka pada abad 19 Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Mutia telah larut dalam wacana kesetaraan, karena mereka berdua hadir dalam barisan perang Aceh. Bahkan di kisahkan oleh seorang wanita Belanda Ny. Szekely-Laulofs Cut Nyak Dien memiliki pengaruh besar dalam memberikan semangat kepada suaminya, Tengku Umar dan tetap memiliki pengaruh besar atas rakyatnya setelah kematian suaminya di medan pertempuran. Walau kala itu ia sudah tua dan sudah sering sakit-sakitan. Cut Nyak Dien dan Cut Mutia ikut terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan, mereka ikut terlibat aktif dalam ranah publik. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep kesetaraan gender bukanlah sebuah konsep yang baru dan tidak semuanya merupakan gagasan dari luar. Jika kita meminjam asumsi Aquarini Priyatna maka dijelaskan feminisme merupakan konsep yang cair, jamak tidak tunggal yang tergantung dari kondisi psikologis socio-kulturalnya. Konsep feminisme yang ada di negara-negara Eropa dan Amerika merupakan sebuah reaksi dari masalah keperempuanan di negara mereka. Pengalaman ketimpangan struktur yang terjadi “Barat” akan berbeda dengan pengalaman yang terjadi di Indonesia.

Di sebagain besar wilayah Indonesia, perempuan memiliki kesempatan yang luas untuk mengaktulisasikan dirinya di ranah publik. Mengutip pernyataan Muhadjir Darwin Perempuan Jawa sejak dulu bebas melakukan aktivitas di luar rumah seperti bakulan ke pasar, bekerja di sawah, atau sekolah. Segresi antara perempuan dan laki-laki yang dialami oleh Kartini hanya banyak terjadi dikalangan kaum elit bangsawan bukan perempuan wong cilik jawa. Tetapi hal tersebut bukan merupakan sebuah jaminan perempuan Indonesia telah bebas dari masalah ketimpangan gender.
Pemikiran perempuan-pun telah maju meginjak masa penjajahan kolonial Belanda. Banyak  perempuan telah sadar bahwa masalah kurangnya pendidikan terutama kepada gadis-gadis merupakan masalah sentral dari kemiskinan, pelecehan, perkawinan anak-anak, kesehatan dan pelecehan serta kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan pada saat dilakukanya penyelidikan oleh pemerintah Belanda terhadap ketidaksejahteraanya orang pribumi di Jawa dan Madura dalam kurun waktu 1911-1913. Penyelidikan dilakukan dengan menanyakan pendapat kaum perempuan kalangan atas yang terdiri dari bidan dan guru. Artinya sudah banyak perempuan yang berpikiran maju pada masa itu walaupun dalam cakupan yang terbatas.

Menginjak awal abad 20 munculah sebuah pola gerak baru yang mengedepankan aspek intelektualitas. Pergerakan bergerak ke arah meja-meja perundingan dan diplomasi. Perjuangan perempuan pada awal kemerdekaan berfokus pada kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan dalam bekerja juga masalah pembagian kerja. Presiden Soekarno memiliki perhatian berlebih terhadap masalah keperempuanan. Dia merupaka seseorang yang pro terhadap perjuangan perempuan hal ini terlihat dari bukunya Sarinah dan Wanita Bergerak yang mengurai tentang perjuangan perempuan dan dukunganya terhadap perempuan untuk mandiri dan merebut sendiri kemerdekaanya dengan kesadaran penuh. Ia mengatakan dalam bukunya bahwa nasib perempuan Indonesia berada di tanganya sendiri dan sebaik-baiknya perjuangan adalah dengan kesadaranya sendiri, kaum laki-laki harus berhati-hati dan memberikan ruang bagi permpuan untuk mengasah kemampuan dan nalar yang dimilikinya di ruang publik.

Kebijakan Soekarno yang bernafaskan kesetaraan ditunjukan dengan diakuinya hak-hak politik kaum perempuan dengan diberikanya hak dalam memilih dalam pemilihan umum pertama tahun 1955 dan diijinkanya perempuan untuk duduk sebagai anggota parlemen. Pengesahan UU nomer 88 tahun 1958 yang berisi tentang keadilan dalam pembayaran yang sama atas upah kerja merupakan simbolisasi penerimaan negara terhadap konsep kesetaraan gender.

Mentalitas perempuan dalam perjuanganya di ranah publik juga mengalami perubahan. Diawali dari terbentuknya organisasi-organisasi keperempuanan yang pada waktu itu memiliki 2 tujuan besar yaitu persatuan dan emansipasi. Pada masa awal pergerakan, kaum perempuan berfokus pada perbaikan posisi kaum perempuan dan perjuangan untuk mendapatkan hak-hak publik. Perempuan masih memperjuangkan keududukanya sendiri. Pemikiran kaum perempuan-pun berubah seiring dengan berubahnya kondisi sosial-politik pada waktu itu. Kaum perempuan mendeklarasikan diri pada Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia -yang pada tahun-tahun selanjutnya bernama Kongres Wanita Indonesia- tahun 1930 untuk merubah arah gerak menjadi perjuangan kebangsaan secara universal mengingat pergerakan wanita saat itu sedang bergumul dengan penjajahan kolonialis Belanda. Pergerakan perempuan merupakan salah satu bagian dari pergerakan nasional bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. perubahan arah gerak tersebut dapat dipahami mengingat kondisi socio-politik yang terjadi pada masa itu. Baru setelah melewati masa penjajahan kaum perempuan mulai memperjuangkan posisinya lagi dalam hukum melalui Rancangan Undang-Undang perkawinan. Perempuan tentunya akan mendapat perlindungan dari negara atas pelecehan dan kekerasan yang terjadi di dalam institusi keluarga. Rancangan Undang-Undang ini akhirnya disahkan pada bulan Desember 1973.

 Pada masa rezim militer Orde Baru perempuan mengalami pengiburumahtanggan jika boleh meminjam istilah yang digunakan Maria Mies. Pandangan Mies dijelaskan dalam buku State Ibuism yang ditulis Julia Suryakusma, “housewifization describes the ways in which women depend on the income of their sustenance. Women are not considerd as wage earnes in the family and are perceived as non-roductive in society. As a housewife, a woman provides free domestic labour, women are also viewed as isolated and lacking adequate political and economic power. Consequently, women are placed by the state in a subordinate position to men”. Bagaimana dalam hal ini pemerintah mereduksi peran perempuan dalam ranah publik menjadi kembali ke ranah privat. Kebijakan lain yang mendukung argumentasi ini adalah di berlakukanya program PKK untuk ibu-ibu dan didirikanya organisasi Dharma Wanita yang merupakan organisasi perkumpulan istri-istri profesional. Secara simbolis organisasi ini menempatkan perempuan pada posisi subordinat laki-laki. Bayang-bayang suami yang mengindikasikan hilangnya ke-akuan dari dalam diri perempuan. Hilangnya kemandirian dan nilai-nilai individu perempuan. Soeharto “mempriyayikan” posisi perempuan dalam pembangunan bangsa. Artinya perempuan ditempatkan hanya pada proses mengasuh anak dan pendamping laki-laki pada proses pembangunan negara.

Perjuangan dalam mencapai kesetaraan sepertinya harus di revitalisasi ulang sebab permasalahan ketimpangan gender bukan hanya menjadi permasalahan perempuan tetapi juga laki-laki. Perempuan sama seperti laki-laki memiliki hak kewarganegaraan yang sama. kemajuan perempuan akan berimplikasi terhadap kemajuan laki-laki.