Serat Centhini atau suluk Tembangraras merupakan sebuah karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa yang eksistensinya digadang-gadang setara dengan kitab Kamasutra yang dibuat oleh Vatsayayana di India. 2 kitab ini merupakan kitab yang paling banyak dimaki juga diminati. Ya, lucu memang. Seks (masih) merupakan sebuah pembahasan yang tabu di masyarakat kita. Disatu pihak Kita malu-malu untuk mengakui eksistensinya tetapi dilain pihak kita menikmati aktivitas mekanis seks itu sendiri. Pembahasan mengenai seksualitas merupakan pembahasan klasik yang tidak akan ada habisnya, ini terbukti dari kemunculan kitab-kitab seksual klasik seperti Serat Centhini dan Kamasutra, sampai History of Sexuality yang lebih modern. Hal ini sangatlah wajar karena seks merupakan naluri dasariah manusia.

Tidak sedikit orang memaknai serat Centhini dan Kamasutra sekedar sebagai kumpulan cerita dan gambar cabul, tidak lebih. Hal ini merupakan kesalahpahaman pemaknaan terhadap kitab-kitab yang seharusnya menjadi tinggi dan agung. Bila kita memahami secara lebih dalam kitab-kitab tersebut memberikan pemaparan yang tidak hanya agung tetapi juga indah tentang substansial kehidupan alamiah manusia.

Serat Centhini merupakan sebuah kitab yang berisi 2 alur cerita yang berbeda. Satu bercerita tentang Cebolang yang menceritakan perjalanan seksual dan satunya berisi tentang perjalanan seksualitas-spiritual antara Tembangraras dan Amongraga. Saya tidak akan bercerita tentang cebolang dengan perjalanan seksnya. Saya akan bercerita tentang kisah cinta yang bermakna dalam antara Tembangraras dan Amongraga. Cerita diawali dari pertemuan Amongraga dan Tembangraras yang merupakan anak kyai pesantren di Wanamarta dimana Amongraga belajar keagamaan. Di tempat inilah pertemuan dan perjalanan cinta mereka bermula. Yang menarik dari cerita ini adalah bagaimana Tembangraras dan Amongraga memutuskan untuk melakukan ratum et consumatum pada hari ke 41 pernikahanya. Amongraga meyakini bahwa kegugupan merupakan halangan bagi persenggamaan. Selama 40 hari Amongraga mengajari istrinya belajar berbagai macam ilmu pengetahuan, falsafah kehidupan dan juga keagamaan, hal itu mereka lakukan selama 40 hari. Ucapan Amongraga yang paling menyentuh saya adalah pada saat pertama kali mereka memutuskan untuk melakukan “persemedian” tersebut, “Jika kau tidak keberatan Dinda, dan dengan rahmat Allah, mulai malam ini berdua kita akan berlayar dalam diam, menentramkan nafas satu dalam lainnya, dan agar kau jadi buritan dan aku haluan. Awalnya pelayaran ini akan terasa kejam penuh larangan sebab ancaman karam sangat besar, kita akan dibawa selama empat puluh malam mengarungi tujuh lautan, silih berganti.”

Sebuah pemaknaan cinta dengan eros yang begitu mendalam. yang mungkin hanya ada di dalam buku-buku bacaan. Perjalanan spritual-seksualitas Amongraga dan Tembangraras di tulis dengan kata-kata yang begitu melankolis dengan nafas islam yang begitu kental. Percakapan yang terjadi selama 40 hari masa “suci” mereka itulah yang seolah membujuk kita untuk segera memaknai secara berbeda perihal kehidupan.

“korban” lain dari pemaknaan sempit “kitab seks” adalah Kamasutra. Banyak orang membaca kamasutra langsung pada bagian hampir akhir dari isi kitab yang bercerita tentang berbagai macam gaya. Bab 2 yang berisi pemaknaan kehidupan Catur Phurusatas atau 4 tujuan hidup agama Hindu yang dijabarkan secara filosofis dianggap sebagai basa-basi belaka. Dan hal ini pula yang sempat dikecam oleh otoritas agama Hindu di Bali dan India. Mungkin muasal kesalah kaprahan berasal dari sang penerjemah sekaligus peneliti berkebangsaan Inggris Francis Burton yang tidak menjabarkan isi dari Kamasutra secara menyeluruh. Ditambah pula dengan kebudayaan modern yang hanya mengeksploitasi seksualitas-erotis dibanding dengan nilai-nilai kebajikan nan filosofis dari kitab ini.
Di dalam kitab juga tergambar bagaimana agama Hindu tidak hanya memaknai seks sebagai aktivitas mekanis belaka tetapi juga bersifat esensial dan estetis. Sebagaimana dijabarkan dalam teks, pada saat ratum et consumatum dimaknai sebagai pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang telah melebur menjadi satu dengan Tuhan. Teks smrti ini ditulis dengan kata-kata yang begitu indah dan agung seolah ingin mengatakan bahwa “seksualitas menjadi bermakna bagi seseorang ketika ia paham betapa agung dan spiritualnya aktivitas tersebut” bukan hanya sebuah habitus monoton dari manusia.

Alangkah sedihnya Vatsyayana dan anonim yang menulis serat Centhini ketika karyanya hanya dimaknai hanya sekedar kitab porno. Padahal mereka (mungkin) ingin menyampaikan lebih dari sekedar itu, nilai-nilai filosofis dharma kehidupan juga agama dan bagaimana seksulitas bukan hanya sekedar aktivitas mekanis untuk kepuasan tetapi merupakan sebuah proses seni yang agung.